Dimuat di Koran Tempo Akhir Pekan III September 2017
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memberikan penghargaan
kepada penulis asal Bandung, Pidi Baiq, dalam Indonesia International Book Fair
di Jakarta Convention Center, Jakarta, awal September lalu. Penulis yang lahir
45 tahun silam ini dinobatkan sebagai Writer of the Year oleh Ikapi lewat
karyanya yang terbit selama 2014 hingga 2016, Trilogi Dilan.
Ketiga novel Pidi yang berjudul “Dilan, Dia adalah Dilanku
Tahun 1990”, “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991”, dan “Milea: Suara dari
Dilan” itu memang laku keras. Hampir di semua toko buku, ketiga buku yang berisi
kisah percintaan antara Dilan dan Milea ini selalu menghiasi deretan buku
terlaris. Trilogi Dilan pun berhasil mengangkat nama Pidi sebagai salah satu
penulis yang diperhitungkan.
Saat ditemui di markas The Panasdalam, Bandung, Pidi mengaku
tak tahu-menahu alasan diberikannya penghargaan itu. Bahkan, dia tidak
mengetahui bahwa Ikapi rutin memberikan penghargaan tersebut setiap tahun.
“Tentu saya sangat berterima kasih kepada Ikapi. Tapi saya tidak perlu bertanya
juga kan alasannya? Nanti saya dibilang cowok bawel,” ujar Pidi sembari tertawa.
Saat ini, Pidi tengah menunggu kerampungan film yang
diadaptasi dari buku pertama Dilan. Dengan meledaknya trilogi itu, memang
banyak rumah produksi yang menawari Pidi memfilmkannya. Pria yang akrab
disapa “ayah” ini pun bekerjasama dengan Falcon Pictures untuk mewujudkan
ketiga novel itu menjadi film. Namun, baru satu buku yang dibuat film, Pidi menyesal.
Setiap menelurkan sebuah karya, Pidi memang mengutamakan kenyamanan.
Hal yang membuat dia puas adalah terciptanya karya yang berkualitas. Pidi tidak
ingin dirinya tercerabut dari karyanya sendiri. Begitu pula saat menulis.
Menurut dia, menulis adalah sebuah kebutuhan. “Saya butuh menulis, bukan butuh
uang. Bahwa kemudian saya dapat uang, itulah dampak dari kualitas karya,” ujar
Pidi.
Bagaimana cerita Anda
mendapat penghargaan Writer of the Year dari Ikapi?
Dua hari sebelum acara penganugerahan, saya ditelepon oleh
Sekretaris Jenderal Ikapi. Saya sebenarnya tidak tahu ada penghargaan itu. Saat
ditelepon, saya malah bilang, “Oh, menang ya?” Kata dia, “Bahagia dong!” Saya
memang baru bangun tidur waktu itu. Akhirnya saya datang ke sana. Tentu saya berterima
kasih kepada yang memberi penghargaan ini. Kalau ada orang yang menghargai kita
masa' kita tidak menghargai mereka?
Apa alasan Ikapi
memberikan penghargaan itu?
Tidak diberi tahu. Mungkin mereka menganggap saya sudah mengerti.
Jadi tidak diberi penjelasan lagi.
Apa karena Trilogi
Dilan?
Tidak tahu juga. Saya tidak bertanya. Saya sangat
berterima kasih kepada Ikapi. Tapi kan tidak perlu bertanya juga alasannya. Nanti
dibilang cowok cerewet, cowok bawel. Ha-ha-ha.
Apa novel Anda yang
terlaris?
Tidak tahu. Royalti kan masuknya ke rekening istri. Memang ada laporan royalti, tapi saya tidak pernah membukanya.
Royalti berapa persen dari
penjualan?
Berapa ya? Saya lupa. Mungkin sepuluh persen. Sebetulnya
saya tidak mempersoalkan itu. Rasanya menggelikan kalau saya mempersoalkan
royalti. Saya menulis bukan karena itu. Saya bisa saja, misalnya penerbit
ikut campur dalam wilayah saya berkarya, ya sudah tidak usah diterbitkan. Kalau
banyak di-edit, saya pasti menolak diterbitkan. Pasti mereka akan berpikir,
“Ini demi laku”. Oh tidak, saya justru bukan karena itu. Menulis itu kebutuhan
untuk mengisi waktu. Saya itu butuh menulis, bukan butuh uang. Bahwa kemudian
saya dapat uang, itulah dampak dari kualitas karya.
Mengenai pajak untuk
penulis, bagaimana menurut Anda?
Saya menghargai orang yang mempersoalkan pajak. Tapi saya
bukan orang yang seperti itu. Sebenarnya saya tidak mengerti akan hal itu. Saya
baru tahu dapat royalti sekian setelah empat buku, setelah penerbit memberi
tahu, “Ayah, royaltinya naik ya.” Oh naik ya? Asalnya berapa? Saya begitu.
Apakah Anda diundang
oleh Menteri Keuangan dalam pertemuan dengan penulis-penulis buku?
Tidak. Saya kan bukan penulis. He-he-he.
Apakah ada usul untuk
Menteri Keuangan terkait pajak penulis?
Tidak ada karena saya tidak mengerti apa-apa. Tapi saya
berterima kasih kepada Tere Liye, berterima kasih kepada Dee Lestari. Mungkin
dengan mereka begitu banyak penulis yang terwakili. Bahwa saya tidak tertarik
mengurus hal itu, mungkin karena saya tidak mengerti apa-apa soal itu. Saya juga
saat membaca beritanya tidak mengerti. Saya malah kaget, “Ya Tuhan, saya kan tidak pernah baca kontrak sama sekali.” Tapi saya tetap menghargai mereka
karena tidak bisa juga kita belagu, sok iye, sok murni. Mungkin karena tanpa menulis buku saya sudah dapat uang di tempat
lain, saya merasa berbeda.
Menjadi penulis itu
cita-cita Anda?
Tidak. Saya menulis ya menulis saja. Misalnya, saya di depan
komputer, lagi Twitter-an, tiba-tiba pengen menulis, ya sudah saya menulis. Awalnya saya memang tidak ada niat menulis di
blog apalagi menulis sebuah buku . Jadi tidak direncanakan. Semuanya terjadi
dengan sendirinya.
Trilogi Dilan juga
seperti itu?
Setiap orang memiliki waktunya sendiri kapan dia ingin
bicara A, bicara B, bicara C. Mungkin pada waktu itu saya ingin bicara masa
lalu.
Apakah Dilan adalah
masa lalu Anda?
Tidak. Dilan adalah masa lalunya Dilan dan Milea di tahun
1990. Dilan itu siapa pun. Tidak penting sih siapa orangnya. Yang penting
adalah kisahnya.
Foto-foto yang beredar apakah benar sosok Milea?
Tanya saja ke dia. Kan dia suka
aktif di Twitter. Coba tanya, benar tidak? Saya itu kalau urusan orang lain
tidak bisa memberikan pernyataan. Itu hak orang lain yang harus menjawabnya.
Twitter Milea asli?
Tanya ke dia deh.
Apakah Milea kerap ke The Panasdalam?
Sesekali. Orang-orang yang
terlibat di novel Dilan sering ke sini kok, seperti Dilan, Burhan, kecuali Akew karena sudah
meninggal kan. The Panasdalam akhirnya memang menjadi
markasnya geng motor XTC.
Bagaimana proses
pembuatan film pertama Dilan?
Syuting sudah selesai. Prosesnya selama 19 hari. Sekarang
tinggal di-edit.
Seberapa dalam Anda
terlibat dalam pembuatan film ini?
Sangat dalam. Sulit diceritakan karena sangat detail. Bahkan
seolah-olah sayalah sutradara yang sebenarnya. Saya tidak sopan sih. Tapi kan
saya harus ikut campur kan? Karena saya lebih tahu Dilan daripada sutradara.
Bagaimana menjaga
agar cerita di film tetap sesuai dengan novel?
Setiap media punya budayanya sendiri, punya aturan mainnya
sendiri, punya gayanya sendiri. Tentu akan berbeda tapi garis besarnya tetap
sama. Ada novel yang saat difilmkan betul-betuk sangat jauh. Saya berusaha untuk
tidak seperti itu. Harus sangat-sangat dekat.
Tapi banyak yang
memprotes penunjukan Iqbal Ramadhan sebagai pemeran Dilan…
Memang terjadi kompromi untuk Iqbal. Ketika saya berkarya,
mengikuti apa yang menjadi privacy saya bukan berarti tidak menghargai pendapat
orang lain. Karena kalau diikuti juga kan banyak banget. Mending mengacu kepada
diri saya sendiri. Saya takut diri saya tercerabut dari karya saya kalau
mengikuti orang lain. Toh Iqbal bukan Dilan. Iqbal adalah orang yang memerankan
Dilan. Dia pasti akan melepaskan
ke-Iqbal-annya. Tenang saja.
Sempat diberi pilihan
oleh rumah produksi?
Rumah produksi menawarkan pilihan. Cuma kan perasaan saya harus bermain di situ. Semuanya bagus.
Akhirnya, mana yang mendekati saja yang saya pilih. "Sepertinya Iqbal deh." Kalau Adipati Dolken ketuaan. Kalau Jefri Nichol kecakepan. Kalau cakep, ngapain PDKT? Setor muka juga orang sudah mau. Pertimbangannya seperti itu.
Tapi Anda sempat
melontarkan keinginan untuk tidak memilih artis sebagai para pemeran di film
ini…
Saya tidak melihat Iqbal sebagai artis. Kalau kata orang itu
artis, saya baru tahu. Saya tidak tahu Iqbal itu siapa, serius. Saya tidak
punya televisi di rumah. Saya tidak tahu artis-artis itu siapa saja. Ha-ha-ha.
Bagaimana Anda menjaga
agar karakter Iqbal di film sesuai dengan karakter Dilan?
Mengarahkan cara berjalan, cara bersikap, cara bicara, itu
pasti.
Iqbal sempat
dititipkan ke geng motor?
Tidak. Kebetulan Iqbal sering ke The Panasdalam selama
istirahat syuting. The Panasdalam kan markasnya XTC. Karena Iqbal sering ke
sini, jadi gabung dengan XTC.
Selain itu, ada lagi
yang mesti dikompromikan?
Skenario terjadi kompromi juga. Ada pihak Jakarta dan pihak
saya. Akhirnya memang terjadi perdebatan sengit. Sangat sengit malah. Kan awalnya saya mau novel saya dibikin film dengan syarat saya terlibat. Di perjalanan mungkin mereka
lupa. Mereka masuk ke wilayah saya. Di situ lah
terjadi perdebatan. Ada juga permintaan agar pembantu keluarga Dilan memakai
kebaya. Saya merasa ini bukan pembantunya Dilan. Atau Lia pakai baju Tweety,
pink, aduh, bukan Lia deh. Aku tahu Lia. Akhirnya saya bilang ke art
director-nya, kalau Lia pakai baju ini, dia sukanya Iqbal, bukan Dilan.
Siapa yang akhirnya
mengalah?
Pihak saya yang galak. Karena saya tidak masalah filmnya dihentikan. Saya pernah minta, “Hentikan syuting ini!”, karena tidak ada
keputusan untuk mengikuti apa yang menjadi referensi saya di masa itu. Saya kan
mengacu pada keadaan saat itu. Tapi Jakarta begitu. Ternyata memang frekuensinya
berbeda. Mereka tidak salah, saya juga tidak salah. Yang salah adalah ketika
kami bergabung. Makanya saya kapok. Novel saya tidak akan dijual lagi kepada siapa pun. Tapi, untuk Dilan kan sudah dikontrak tiga buku, ya sudah. Tapi setelah itu tidak mau
lagi, sampai kapan pun. Saya mungkin akan bikin film, tapi tidak di sini, tidak
di Indonesia. Bikin sendiri saja.
Anda menyesal?
Menyesal. Dan saya tidak mau lagi kerjasama dengan rumah
produksi mana pun. Kecuali siapa pun itu memahami saya. Toh saya juga
bertanggung jawab. Ketika saya bilang, “Ikuti saya!”, saya membuktikan kalau
itu laku. Mereka mau dipenuhi kemauannya untuk dapat banyak uang. Tapi mereka
tidak membalas saya yang ingin puas dengan kualitas karya. Saya tidak menuntut
uang lho. Ada rumah produksi lain yang menawarkan sampai Rp 3 miliar. Ini jauh
sekali, sangat jauh. Tapi saya tidak mau yang itu karena saya takut tidak boleh
terlibat. Mendingan saya uangnya kecil tapi terlibat. Tapi di perjalanan
ternyata sama saja. Mendingan uangnya besar sekalian.Ha-ha-ha.
Kapan film Dilan
tayang?
14 Februari 2018.
Memang sengaja
bertepatan dengan Hari Valentine?
Bukan soal itu sebetulnya. Saya setuju dengan produser
karena dia punya alasan bahwa nanti ada film Hollywood yang banyak masuk
di akhir tahun. Dia ngomong, “Tayang 14 Februari saja karena saingannya tidak berat,
tidak terbagi penontonnya.” Oke, itu kan tidak masuk wilayah berkarya. Selama itu
tidak prinsip mah saya sok aja.
Apakah setelah ini
ada buku keempat tentang Dilan?
Pacar Dilan setelah Milea kan Cika. Kalau
Cika mau cerita, saya tulis. Judulnya Cika Mehrunisa Rabu.
Cika mau?
Dia bilang tidak mau. Saya bisa saja menulis sendiri tanpa
persetujuan Cika. Tapi saya harus menghormati hak seseorang. Ini kan menyangkut
pribadi dia. Tidak bisa saya seenaknya. Itu gibah nantinya karena ngomongin
orang. Nanti saya masuk neraka gara-gara buku bagaimana? Ha-ha-ha.
Di kehidupan nyata,
apakah Cika dan Dilan menikah?
Ha-ha-ha. Nanti lihat saja. Sebetulnya lebih ramai sama Cika
daripada sama Milea. Cika kan masih SMA, Dilan sudah kuliah. Saat itu, Dilan di
persimpangan jalan, sudah mulai harus menentukan pilihan ke mana dia mau. Dia bukan
lagi remaja yang bisa seenaknya seperti di masa SMA. Ini justru keren. Dan Cika
lebih susah mendekatinya.
Cika disebut cemburu
dengan Milea…
Dia bilang cemburu, tapi sedikit lah. Saya
pernah minta dia berkomentar tentang novel Dilan. Dia bilang, “Apa yang
harus membuat saya merasa keberatan dengan adanya Dilan dan Milea? Toh itu
masa lalu mereka dan saya tidak ada di sana waktu itu. Setiap orang akan menjadi
tokoh dalam hidupnya sendiri.” Rupanya bijaksana juga dia. Kalau harus cemburu,
sedikit sudah cukup.
Kapan kisah tentang Cika ditulis di blog Anda?
Inginnya secepatnya.
Walaupun banyak orang yang tidak suka Cika sebetulnya.
Apakah ada pesan yang
ingin disampaikan dari novel-novel Anda?
Tidak. Saya tidak memiliki tendensi apa-apa. Ketika menulis
saya tidak punya pesan moral yang ingin disampaikan. Saya ingin lepas dari
beban-beban seperti itu. Saya menulis apa yang ingin saya tulis saja.
Apa buku favorit
Anda?
Saya suka Al-quran. Meskipun itu bukan syair tapi saya
melihat itu sangat indah. Sebenarnya saya tidak pernah mengidolakan seseorang.
Saya mengidolakan semua yang berkarya. Pram keren, Rendra keren, Goenawan Mohamad keren.
Semua keren lah.
Apakah membaca
tulisan mereka?
Kalau ada waktu dan bukunya, saya baca. Karena saya sering
dikasih buku ya saya baca. Saya tidak pernah berniat beli. Kadan-kadang istri
saya yang beli, saya baca.
Apakah anak
dibiasakan membaca?
Tidak, biar saja jadi dirinya sendiri. Masa saya memaksa?